Novel
“Laskar Pelangi”
Sinopsis:
Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, & memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan Kepada kami sejak dini.
Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warbol mungil dan satu kelas atas laksana Thomas Alfa Edison. Keduanya penuh inovasi dan kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing. Tanpa mereka kelas kami tak lebih dari sekumpulan kulit tambang melarat yang mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga.
Tidur di ruang utama masjid adalah pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di ruangan beduk dan usungan jenazah.
Aku terkenang lima belas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa. Hari itu kami berjanji berangkat dengan kapal barang dari Dermaga Olivir. Tapi sampai sore Trapani tak datang. Karena kapal barang hanya berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu rupanya Trapani telah mengambil keputusan lain. Ia tak datang ke dermga karena ia tak mampu meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tidak pernah mendengar kabar Trapani.
Tokoh dan Wataknya:
Pak Harfan : Baik hati, sabar
Bu Mus : Sabar, pandai, karismatik
Trapani : Pendiam namun pintar
Kucai : Populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori, sok tahu
Syahdan : Ceria, tidak punya sense of fasion
Sahara : Penuh perhatian, kepala batu dan jujur
Harun : Santun, pendiam, dan murah senyum
Lintang : Tak pernah tinggi hati, pintar
Mahar : Sabar Kreatif
Borek : Tak tahu diri, keras kepala
A Kiong : Naïf dan tak peduli, namun penolong dan ramah
Flo : Tomboi, tak berminat
Tokoh Favorit:
Lintang. Karena Lintang berwawasan luas dan tak kenal lelah.
Pesan Pengarang:
Novel Ini dipersembahkan untuk Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor dan sepuluh sahabat anggota laskar pelangi
Sinopsis Versi Pemakalah:
Bu Mus ialah seorang guru yang pandai, karismatik, & memiliki pemikiran jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini.
Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warbol mungil dan satu kelas atas laksana Thomas Alfa Edison. Keduanya penuh inovasi dan kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing. Tanpa mereka kelas kami tak lebih dari sekumpulan kulit tambang melarat yang mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga.
Tidur di ruang utama masjid adalah pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, tepatnya di ruangan beduk dan usungan jenazah.
Aku teringat lima belas tahun lalu. Sesudah tamat SMA, aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa. Hari itu kami berjanji akan berangkat dengan kapal barang dari Dermaga Olivir. Tapi sampai sore Trapani tak kunjung datang. Karena kapal barang hanya berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat ke Jawa tanpa dia. Pada saat itu rupanya Trapani telah mengambil keputusan lain. Ia tak datang ke dermga karena ia tak mampu meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tidak pernah mendengar kabar dari Trapani.